Rabu, 22 November 2017

Bolehkah aku berada satu shaf di belakangmu di sepertiga malam - Nya? (1)

Tak pernah terbayangkan olehku.
Dan tidak bisa ku lukiskan lewat jemariku di penghujung malam – malam Nya kita lalui bersama.

Sunyi.
Sepi.
Hanya gemuruh angin malam yang menemani.
Ku coba kuatkan raga ini.
Menopang rasa kantuk yang menerpa diri.

Dan ku coba mulai membangunkanmu.
Membangunkan dari tidur nyenyakmu.
Ku usap lembut kepalamu.
Ku kecup mesra keningmu.
Dan kupercikan air di wajah manismu.

Kita gelar sajadah yang ada.
Seraya menghadap kiblat yang sama.
Kau baca Kalamullah – Nya.
Ku aamiinkan setiap do’a – do’amu pada – Nya.
Ku hayati ayat demi ayat – Nya.
Hingga tak terasa air mata ini keluar dengan sendirinya.

Sungguh.
Sungguh indah rasanya.
Disaat dua insan yang saling mencintai – Nya.
Menghabiskan disetiap penghujung malam – malam yang ada dengan bermunajat kepada – Nya.

Merayu dengan lembut pada – Nya.
Meminta setiap hajat kepada Sang Maha Kuasa.
Agar nantinya Sang Maha Esa memberikan ridho dan karunia – Nya.
Hingga surga adalah tempat peristirahatan terakhir kita berdua.

Dan sungguh.


Bolehkah aku berada satu shaf di belakangmu di sepertiga malam – Nya?

Apakah aku pantas mendampingimu? (2)

Pertanyaan itu selalu hadir di dalam hatiku.
Bagaimana tidak?
Karena saat ini, bukan saatnya kita bermain – main tentang hati.

Berulang kali aku berusaha meyakinkan hatiku, bahwa aku sangat tidap pantas untukmu.
Karena aku sadar.
Tidak ada hal yang bisa diandalkan terhadap diri ini.

Pertanyaan itu sering membabi buta di benakku.
Namun aku sedang terus berusaha memperbaiki diriku, menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Meskipun amat sangat berat.

Aku, sedang terus berusaha memantaskan hatiku agar pantas mendampingi dirimu.
Aku berusaha memperbaiki diri bukan hanya untukmu, tapi untuk kita dan agama kita.

Aku tahu bahwa kita berbeda.
Kau memiliki segalanya, segala hal yang tak bisa ku punya.
Mungkin begitu juga sebaliknya.

Ragu.
Iya, aku begitu ragu.
Sebab kau masih sangat abu – abu.

Aku memilih bermimpi.
Dibanding memandangimu di kehidupan nyata.
Kau ilusi yang tidak dapat kujelaskan pada dunia.

Rasa ini tak mampu lagi ku uraikan.
Lewat frasa yang mampu membentuk kalimat dan kata – kata.

Aku ingin sebuah kejelasan.
Darimu yang kuingin untuk memenangkan hatiku.

Aku ingin kau pun yakin.
Bahwasanya kau bahagia karena telah ada aku.
Yang dengan bangga menunggumu.

Aku lelah berlari.
Aku lelah terus menghindar.
Dari dirimu, aku sangat lelah.

Tetapi.
Aku rela menunggu.
Aku rela bersabar.
Aku ikhlas menantimu.
Menanti jawaban darimu.
Menanti kau bertamu.
Aku sangat rela.

Jika keinginanku ini pun merupakan keinginanmu.
Berikanku isyarat hingga mampu membuat orangtuaku pun jatuh hati padamu.

Aku berusaha menerima apaadanya dirimu.
Karena ku tahu akupun tidak sempurna.
Sebagai seorang wanita, yang hanya bisa memendam rasa.

Menjauhlah jika kau menginginkan sebuah permainan.
Agar aku mudah melupakan.
Tanpa harus larut dalam duka dan kekecewaan.

Itu pintaku.
Yang kuinginkan bukan sekedar ucapan.
Namun sebuah kepastian.

Semoga aku dapat bertahan.
Untuk menjaga satu nama di dalam do’aku.
Yaitu.
Namamu.

Sedalam – dalam rindu (3)

Untukmu yang kini jauh dari pandangan mata.
Bahkan sangat jauh dari perkiraanku saat ini.
Apakah engkau baik – baik saja?
Apakah hatimu masih selembut dahulu?
Apakah dirimu masih sesabar kala itu?
Apakah dirimu masih mengingatku masa itu?

Mungkin semuanya masih sama seperti dahulu.
Dan hanya satu hal yang tak lagi sama.
Yaitu, rasa di hatimu yang dahulu mungkin ada untukku dan kini bukan lagi aku.
Entahlah.
Entah sudah berapa hari kita tak lagi bertegur sapa.
Meski hanya di sosial media.
Entah sudah berapa lama tak lagi kita berjumpa.
Meski hanya satu detik saja.

Aku mengenalmu sudah lebih dari 1.000 hari.
Singkat memang, namun begitu indah dan kadang dilapisi kesedihan.
Meskipun sudah tidak pernah bertemu apalagi bertatap muka.
Namun kuyakin kala itu bahwa engkaulah yang akan menjadi bagian dari kisah hidupku.
Dan ternyata benar, engkau telah menjadi kisah dibagian hidupku.
(Namun hanya sebagai inspirasiku dalam merangkai kata).
Dan hingga kini kisah kita telah hampir membumi.

Hingga kini ku tak tahu mengapa.
Selalu ada alasanku untuk menuliskan tentangmu.
Walaupun aku tahu bahwa kisah itu telah lama usai.
Bahkan hampir tak terdengar lagi.
Tetapi masih saja tetap engkau yang bertahta di hati.
Masih engkau yang menjadi alasanku menulis dan menulis.
Engkau mungkin tak lagi menghiraukanku.
Bahkan tak lagi mengingatku.
Apalagi berkenan untuk bersamaku.
Tapi ketahuilah meskipun itu benar adanya.
Kamu, tetaplah kamu di hatiku.
Selalu ada ruang pribadi untukmu yang kini jauh dari jangkauan.
Selalu ada rindu yang tak pernah kuingini hadir kala ku merenung.
Selalu ada yang terbesit tentangmu.
Meskipun telah ku coba tuk melupakan siapa dirimu.

Semakin ku mencoba melupakan.
Semakin engkau hadir dalam harapan.
Semakin ku mencoba mengikhlaskan.
Semakin engkau hadir dalam khayalan.
Semakin ku mencoba tidak lagi mengingatmu.
Semakin engkau membuatku merindu.

Maafkan aku jika hingga kini masih menjadikanmu sosok spesial.
Untuk sebuah karya dalam sebuah tulisan.
Maafkan aku sedalam – dalam rindu ini hanya tersirat untukmu.
Semoga Allah mengizinkanku agar segera dapat melupakanmu.
Melupakan bayangmu.

Musytaqun Ilaik Jiddan ya Habibi.
Biarlah semua ini tetap seperti ini.
Hingga datang dia yang mampu membuatku lupa padamu.
InshaAllah.